.

...to teach, to mentor, to discover, to publish, to reach beyond the walls, to change, to tell the truth...

Senin, 27 Desember 2010

LAPORAN KEUANGAN BLU: Realita Kompleksitas (Sebuah Catatan Kecil Dipenghujung Tahun)

Sebagaimana diketahui bahwa sebuah satuan kerja pemerintah yang telah ditetapkan menjadi Badan Layanan Umum (BLU) memiliki kewajiban menyusun laporan keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan. Sesuai amanat dalam PP 23 Tahun 2005, laporan keuangan BLU disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang diterbitkan oleh Asosiasi Profesi Akuntansi Indonesia –dalam hal ini adalah IAI—, namun akhirnya harus digabungkan dalam laporan keuangan kementerian/lembaga yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Melihat aturan main sebagaimana di atas tampak bahwa satker BLU harus mampu menyajikan laporan keuangan dengan dua standar yang berbeda, ini berarti satu dari sekian banyak kompleksitas BLU tengah terjadi. 

Jika kita melihat kembali esensi dari sebuah laporan keuangan yakni menyajikan informasi keuangan yang dapat digunakan oleh para pemakainya untuk mendukung pengambilan keputusan ekonomi, maka dengan diterapkannya dua standar tersebut justru akan membuat bias informasi yang ada dalam kedua laporan tersebut. Kenapa dapat terjadi bias? Karena masing-masing standar akuntansi menggunakan basis pencatatan akuntansi yang berbeda, dimana SAK menggunakan basis akrual sedangkan SAP menggunakan basis kas menuju akrual –basis yang sebenarnya tidak dikenal dalam ilmu akuntansi—. Sebagai contoh dalam pengakuan pendapatan, dalam laporan keuangan BLU versi SAK seluruh pendapatan yang secara akrual telah terjadi pasti akan dilaporkan, namun dalam laporan keuangan versi SAP hanya pendapatan yang telah diterima kasnya saja yang akan dilaporkan. Bagaimana pemakai laporan keuangan dapat menilai kinerja pendapatan BLU dengan baik jika demikian yang terjadi?. Belum lagi masalah penyusutan aset tetap, dimana SAK mewajibkan dilakukan perhitungan penyusutan akan tetapi SAP justru tidak menghitung penyusutan. 
Meskipun telah terdapat aturan main tata cara pengintegrasian laporan keuangan BLU (SAK) ke dalam laporan keuangan SAP (Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. 67/PB/2007), namun secara teknis hal tersebut relatif sulit dilakukan karena setiap transaksi yang telah dicatat dalam akun BLU harus diidentifikasi satu per satu dan diklasifikasikan dalam akun SAP. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan transaksi atas akun-akun BLU yang tidak dapat dikonversi dalam akun SAP, seperti biaya penyusutan, biaya administrasi bank, biaya kerugian piutang, dll? 
Terlepas dari kerumitan, kompleksitas dan jalan panjang menyusun dua laporan keuangan tersebut, yang menarik untuk dijawab adalah pertanyaan dari seorang ahli keuangan negara/daerah: Apakah seluruh stakeholder BLU benar-benar membutuhkan informasi (baca: peduli dengan isi) dalam laporan keuangan? Sebagai contoh apakah seorang investor benar-benar akan menjadikan isi laporan keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan inventasinya? Mengapa selama beberapa tahun terakhir Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dinyatakan disclaimer oleh BPK, toh tetap ada investor yang menanamkan modalnya di Indonesia? Kenapa juga Pemerintah Daerah yang Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) mendapat opini disclamer juga tetap didatangi investor? 
Jadi pertanyaan-pertanyaan di atas seharusnya berkembang menjadi pertanyaan lain: kenapa untuk hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu dipedulikan oleh publik harus dibuat rumit secara teknis? Dalam konteks tulisan ini, artinya kenapa satker BLU mesti dibebani dengan penyusunan dua model laporan keuangan? Bukankah ujung dari sebuah pengelolaan keuangan negara adalah transparansi dan akuntabilitas? Sepanjang menggunakan satu standar saja sudah cukup untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas, kenapa mesti dua standar? Begitu susahkah merubah peraturan yang hanya setingkat PP, Permen bahkan Perdirjen? Tidak bisakah kita duduk bersama, kita diskusikan bersama, para birokrat, para akademisi, para pemerhati, para pengelola keuangan untuk menembus kompleksitas-kompleksitas dalam pengelolaan keuangan BLU? Tidak sebatas dalam kompleksitas penyusunan laporan keuangan BLU saja, namun mulai dari proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran sampai dengan pertanggungjawaban. Janganlah kita terbelenggu oleh ego sektoral urusan pemerintahan, namun semua kita bingkai dalam semangat memajukan pengelolaan keuangan negara yang semakin baik. Akhirnya, jangan pula biarkan satker BLU hanya memiliki harapan kosong tentang “fleksibilitas keuangan BLU yang sebenar-benarnya”. (Ditulis oleh: Yanuar E. Restianto, seorang pemerhati, akademisi sekaligus pelaku –pengelola keuangan BLU—, tetapi belum pernah jadi birokrat penentu kebijakan pengelolaan keuangan BLU, jadi hanya bisa mengeluh dalam bentuk rentetan kalimat tanpa bisa berbuat apa-apa).

2 komentar: